Type Here to Get Search Results !

ALLAH MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG

   

 Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ

YANG MAHA PENYAYANG LAGI MAHA PENGASIH

Kedua sifat ini berasal dari kata رَحْمَة. Terjemah kedua sifat ini dengan “yang maha penyayang lagi maha pengasih” adalah terjemah yang mendekati kebenaran. Tambahan “maha” untuk menunjukkan bahwasanya rahmat Allah ﷻ tidak sama dengan rahmat makhluk-Nya. Oleh karenanya dibedakan keduanya dengan kata “maha” yang menunjukkan puncak sayang dan puncak kasih. Allah ﷻ berfirman,

وَرَبُّكَ الْغَفُورُ ذُو الرَّحْمَةِ

“Dan Tuhanmulah yang Maha Pengampun, lagi mempunyai rahmat.” (Al-Kahfi: 58)

Dalam ayat yang lain Allah ﷻ berfirman,

رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا

“Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu.” (QS. Al-Mukmin: 7)

Dalam ayat ini Allah ﷻ menggandengkan antara rahmat dan ilmu. Sebagaimana kita ketahui ilmu adalah sifat bagi Allah ﷻ maka begitu juga rahmat adalah sifat bagi Allah ﷻ. Penulis ingin menekankan hal ini karena para penolak sifat seperti Asyairah dan Muktazilah mengatakan bahwa Allah ﷻ tidak memiliki sifat rahmat. Kita katakan yang benar Allah ﷻ memiliki sifat rahmat dan dalilnya sangat banyak sekali, Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

لَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا

“sungguh Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini kepada anaknya.” ([1])

Kita tahu bahwasanya seorang ibu memiliki sifat sayang kepada anaknya, kemudian Rasulullah ﷺ  mengatakan bahwa Allah ﷻ lebih sayang. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ  membandingkan antara kasih sayang Allah ﷻ kepada hamba-Nya dengan kasih sayang ibu kepada anaknya. Perbedaannya adalah kasih sayang Allah ﷻ adalah “maha”, berbeda dengan kasih sayang seorang ibu.

Kisah ini disebutkan dalam Shahih Muslim dan lainnya tentang seorang ibu yang kehilangan anaknya. Kita tahu bahwasanya kasih sayang terbesar yang ada di alam semesta ini adalah kasih sayang seorang ibu kepada anaknya, kasih sayangnya lebih besar dari pada yang lainnya. Terlebih lagi ibu tersebut kehilangan anaknya, dia mencari-cari namun tidak mendapatkannya. Begitu ia menemukan anaknya maka ia segera mendekap sang anak dan menyusuinya. Ini adalah gambaran kasih sayang yang terbesar yang ada saat itu. Ketika Nabi Muhammad ﷺ melihat pemandangan seperti itu maka beliau menjadikannya sebagai kesempatan untuk menjelaskan kepada para sahabat agar mereka bisa mengerti tentang makna rahmat Allah ﷻ. Oleh karenanya ketika Nabi Muhammad ﷺ bertanya kepada para sahabat,

أَتَرَوْنَ هَذِهِ الْمَرْأَةَ طَارِحَةً وَلَدَهَا فِي النَّارِ؟

“apakah kalian memandang bahwa ibu ini akan melempar anaknya ke api?”

Maka para sahabat menjawab: tentu tidak wahai Rasulullah, bagaimana mungkin dia akan melemparkannya sementara dia mampu untuk menyelamatkannya. Rasulullah ﷺ  pun berkata,

لَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا

“Sungguh Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini kepada anaknya.”

Jika kita tahu bahwasanya Allah ﷻ  sangat sayang kepada kita maka kelazimannya adalah apabila kita tertimpa sesuatu hendaknya kita segera menuju Allah ﷻ. Bukankan jika kita tertimpa suatu permasalahan maka kita akan pergi kepada orang yang sangat sayang kepada kita? Bukankah anak kecil ketika tertimpa suatu masalah maka dia akan berlari menuju ibunya? Ini dikarenakan ibunya adalah orang yang paling menyayanginya. Seseorang tidak mungkin pergi kepada orang yang tidak menyayanginya. Nah, jika kita tahu bahwa Allah ﷻ maha sayang kepada hamba-hamba-Nya maka seharusnya segala permasalahan kita serahkan kepada Allah ﷻ. Ini adalah di antara fungsi mengapa kita harus mempelajari tentang sifat rahmat Allah ﷻ.


Penulis ingin menjelaskan bahwasanya Ahlusunah menetapkan Allah ﷻ memiliki sifat rahmat. Adapun ahli bidah di antaranya Muktazilah dan Asyairah mereka mengingkari sifat rahmat. Mereka mengatakan bahwasanya Allah ﷻ tidak memiliki sifat rahmat, menurut Muktazilah bahwa rahmat adalah majas sebagaimana yang dikatakan oleh Zamakhsyari di awal kitabnya al-Kasysyaaf, ia berkata,

هُوَ مَجَازٌ عَنْ إِنْعَامِهِ عَلَى عِبَادِهِ

“Maksud dari rahmat adalah majas dari karunia-Nya kepada hamba-hamba-Nya.” ([2])

Adapun Asyairah maka mereka menempuh dua metode sebagaimana yang disampaikan oleh Ar-Razi dalam kitabnya Syarah al-Asma’ al-Husna:
  • Pertama: menakwilkan sifat rahmat kepada sifat iradah/kehendak sehingga maknanya adalah kehendak Allah untuk memberi kebaikan kepada hamba-hamba-Nya. Mereka menakwilkan sifat rahmat dengan sifat iradah karena menurut mereka Allah ﷻ hanya memiliki 7 sifat. Mereka tidak menetapkan sifat rahmat karena menurut mereka Allah ﷻ tidak boleh memiliki sifat rahmat, karena sifat rahmat/sayang tidak bisa dibayangkan kecuali untuk manusia, dan ini tertolak dari Allah ﷻ. Maka kita katakan kepada mereka bahwasanya begitu juga sifat iradah/kehendak, kehendak tidak mungkin kita bayangkan kecuali kepada manusia.
Jika mereka mengatakan bahwa kehendak Allah ﷻ tidak sama dengan kehendak manusia, maka kita jawab begitu juga sifat sayang Allah ﷻ tidak sama dengan sifat sayang manusia. Bagaimana bisa sifat sayang Allah ﷻ disamakan dengan sifat sayang makhluk?
  • Kedua: menafsirkan rahmat sebagai makhluk sehingga artinya rahmat adalah karunia itu sendiri.
Keyakinan Allah ﷻ memiliki kasih sayang adalah yang diyakini oleh masyarakat secara umum. Orang awam dengan fitrahnya akan meyakini bahwa Allah ﷻ memiliki sifat sayang, berbeda dengan orang yang telah terkena syubhat akan menolak sifat sayang untuk Allah ﷻ.

Sifat kasih sayang Allah ﷻ memiliki dampak kepada makhluk/alam semesta. Allah ﷻ berfirman,

فَانْظُرْ إِلَى آثَارِ رَحْمَتِ اللَّهِ كَيْفَ يُحْيِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا إِنَّ ذَلِكَ لَمُحْيِ الْمَوْتَى وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Maka perhatikanlah dampak-dampak rahmat Allah (hujan), bagaimana Allah menghidupkan bumi yang sudah mati. Sesungguhnya (Tuhan yang berkuasa seperti) demikian benar-benar (berkuasa) menghidupkan orang-orang yang telah mati. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Rum: 50)

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah ﷻ memiliki sifat rahmat dan menciptakan kasih sayang, dan di antara rahmat yang Allah ﷻ ciptakan adalah hujan. oleh karenanya Allah ﷻ menamakan hujan dengan rahmat, Allah ﷻ berfirman,

وَهُوَ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ

“Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan).” (QS. Al-A’raf: 57)

Allah ﷻ menamakan hujan dengan rahmat Allah ﷻ. Jadi ada rahmat berupa sifat rahmat Allah ﷻ dan ada rahmat yang Allah ﷻ ciptakan untuk manusia dan alam semesta. Jadi perlu dibedakan antara rahmat yang merupakan sifat Allah ﷻ dan rahmat yang merupakan dampak dari sifat rahmat Allah ﷻ yang Allah ﷻ ciptakan di atas muka bumi ini. Di antara rahmat yang Allah ﷻ ciptakan adalah sebagaimana yang Nabi Muhammad ﷺ sabdakan,

إِنَّ لِلَّهِ مِائَةَ رَحْمَةٍ أَنْزَلَ مِنْهَا رَحْمَةً وَاحِدَةً بَيْنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ وَالْبَهَائِمِ وَالْهَوَامِّ، فَبِهَا يَتَعَاطَفُونَ، وَبِهَا يَتَرَاحَمُونَ، وَبِهَا تَعْطِفُ الْوَحْشُ عَلَى وَلَدِهَا، وَأَخَّرَ اللهُ تِسْعًا وَتِسْعِينَ رَحْمَةً، يَرْحَمُ بِهَا عِبَادَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Sesungguhnya Allah memiliki seratus rahmat. Dari seratus rahmat tersebut, hanya satu yang di turunkan Allah kepada jin, manusia, hewan jinak dan beracun([3]). Dengan rahmat tersebut mereka saling mengasihi dan menyayangi, dan dengan rahmat itu pula binatang buas dapat menyayangi anaknya. Adapun Sembilan puluh sembilan rahmat Allah yang lain, maka hal itu ditangguhkan Allah. Allah akan memberikannya kepada para hamba-Nya yang saleh pada hari kiamat kelak.” ([4])

Ini merupakan dalil bahwasanya rahmat yang Allah ﷻ turunkan baru satu. Adapun sembilan puluh sembilan akan Allah ﷻ khususkan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman  pada hari kiamat kelak.

Makna  الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ

    Jika digabungkan dalam satu konteks Ar-Rahman memiliki makna yang berbeda dengan Ar-Rahim.

    Jika terpisah, yaitu dalam satu konteks hanya disebutkan salah satunya maka Ar-Rahman maknanya sama dengan Ar-Rahim. Ini adalah kaidah dalam banyak kata di bahasa Arab:

إذا اجتمع افترق وإذا افترق اجتمع

“jika bersatu berpisah dan jika berpisah bersatu”

Contoh dalam hal ini sangat banyak. Contohnya kata al-birr dan at-taqwa jika digabungkan maknanya berbeda seperti dalam firman Allah ﷻ,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى

“dan tolong-menolonglah kalian dalam al-birr dan at-taqwa.” (QS. Al-Maidah: 2)

Dalam ayat ini al-birr dan at-taqwa disebutkan secara bersamaan, maka keduanya memiliki makna yang berbeda. At-taqwa artinya meninggalkan kemaksiatan dan al-birr artinya melakukan ketaatan. Namun jika keduanya disebutkan secara sendiri maka al-birr artinya sama dengan at-taqwa yaitu meninggalkan kemaksiatan dan menjalankan ketaatan. Seperti firman Allah ﷻ,

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ

“Bukanlah menghadapkan wajah kalian ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan.” (QS. Al-Baqarah: 177)

Allah ﷻ berfirman,

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ

“Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai.” (QS. Ali Imran: 92)

Begitu juga kata Ar-Rahman dan Ar-Rahim, jika keduanya disebutkan secara terpisah maka keduanya memiliki makna yang sama. Namun jika digabungkan dalam satu konteks maka terdapat khilaf di antara ulama berkaitan maknanya:
  • Pertama: Ar-Rahman artinya kasih sayang umum mencakup mukmin dan kafir. Ar-Rahim artinya kasih sayang khusus hanya untuk orang yang beriman. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Yang menjadi dalil mereka adalah karena Allah ﷻ ketika menyebutkan Ar-Rahman menjadikannya mutlak untuk siapa saja. Adapun ketika menyebutkan Ar-Rahim Allah ﷻ mengkhususkan hanya kepada orang yang beriman([5]), seperti firman Allah ﷻ,
وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا

“Dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Ahzab: 43)

Allah ﷻ berfirman,

إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka (orang-orang yang beriman).” (QS. At-Taubah: 117)
  • Kedua: Ar-Rahman sifat dzatiyah lazimah yang wazan-nya فَعْلَانُ yang menunjukkan penuhnya rahmat Allah ﷻ. Adapun Ar-Rahim adalah sifat muta’addiyah yaitu sifat yang berkaitan dengan makhluk-Nya. Artinya diri Allah ﷻ yang maha penyayang disebut dengan Ar-Rahman, dan Allah ﷻ menyampaikan kasih sayang-Nya kepada makhluknya maka disebut Ar-Rahim baik yang mukmin ataupun yang kafir. Ini adalah pendapat Ibnul Qayyim rahimahullah([6]), beliau berdalil dengan firman Allah ﷻ,
إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah: 143)

Kata النَّاسِ (manusia) umum mencakup mukmin dan kafir.

Penulis lebih condong kepada pendapat Ibnul Qayyim rahimahullah bahwasanya Ar-Rahman berkaitan dengan dzat Allah ﷻ dan Ar-Rahim berkaitan kasih sayang Allah ﷻ kepada makhluk-Nya.

Ibnul Qayyim memiliki pembahasan yang indah yang berkaitan dengan Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Betapa sering dalam ayat Allah ﷻ menggandengkan Ar-Rahman dengan Arasy, Allah ﷻ berfirman,

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas Arasy.” (QS. Thaha: 5)

Mengapa Allah ﷻ hanya menyebutkan sifat Ar-Rahman ketika menyandingkan dengan Arasy dan tidak menyebutkan sifat yang lain? Karena Arasy Allah ﷻ adalah makhluk yang paling tinggi dan paling besar. Sebagaimana yang sering disebutkan dalam kitab tauhid bahwasanya antara bumi dengan langit yang pertama berjarak 500 tahun perjalanan. Tebal langit pertama berjarak 500 tahun perjalanan. Antara langit pertama dengan langit kedua berjarak 500 tahun perjalanan. Langit kedua juga memiliki ketebalan 500 tahun perjalanan. Lalu jarak antara langit kedua dengan langit ketika berjarak 500 tahun perjalanan, dan seterusnya hingga langit ketujuh. Setelah langit ketujuh ada kursi Allah ﷻ. Kita tahu bahwasanya kursi Allah ﷻ sangat luas, Allah ﷻ berfirman,

وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ

“Kursi Allah meliputi langit dan bumi.” (QS. Al-Baqarah: 255)

Setelah kursi Allah ﷻ terdapat air dan setelah air terdapat Arasy dan Arasy Allah ﷻ sangat besar. Jika kursi Allah ﷻ dibandingkan dengan langit dan bumi maka seperti logam yang dilemparkan di padang pasir. Logam itu adalah langit dan bumi, sementara kursi Allah ﷻ seperti padang pasir. Kursi Allah ﷻ dibandingkan dengan Arasy seperti logam yang dibandingkan dengan padang pasir. Kursi Allah ﷻ adalah logam sedangkan Arasy adalah padang pasir. Allah ﷻ di atas Arasy di luar alam semesta. Sehingga ketika Allah ﷻ beristiwa di atas Arasy dengan menyebutkan Ar-Rahman maka menunjukkan kasih sayang Allah ﷻ meliputi seluruh makhluk-Nya. Allah ﷻ berfirman,

رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا

“Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu.” (QS. Al-Mukmin: 7)([7])

Inilah hikmah mengapa Allah ﷻ menyebutkan Ar-Rahman di atas Arasy yaitu untuk menunjukkan bahwasanya kasih sayang Allah ﷻ meliputi seluruh makhluk yang berada di bawah Arasy.

Pembagian Rahmat Allah ﷻ ([8])

    Rahmat umum, yaitu rahmat yang berkaitan dengan keduniaan. Seperti kasih sayang di antara makhluk, rezeki yang Allah ﷻ berikan, memenuhi kebutuhan mereka dan lainnya. Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

لَا أَحَدَ أَصْبَرُ عَلَى أَذًى يَسْمَعُهُ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، إِنَّهُ يُشْرَكُ بِهِ، وَيُجْعَلُ لَهُ الْوَلَدُ، ثُمَّ هُوَ يُعَافِيهِمْ وَيَرْزُقُهُمْ

“Tidak ada siapa pun yang lebih bersabar atas gangguan yang ia dengar melebihi Allah ﷻ, ia disekutukan dan dianggap punya anak kemudian Dia memaafkan dan memberi mereka rezeki.” ([9])

Rahmat yang umum ini adalah satu rahmat yang Allah ﷻ turunkan ke dunia dan hanya berlaku di dunia saja. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa rahmat tersebut ketika di penghujung hari kiamat akan diangkat kembali oleh Allah ﷻ. Oleh karenanya di penghujung hari kiamat yang ada yang kerusakan di alam semesta ini, tidak ada rahmat, tidak ada yang beribadah kepada Allah ﷻ, dan yang ada hanyalah seburuk-buruknya manusia.

    Rahmat khusus, yaitu rahmat yang diraih dengan ketakwaan. Allah ﷻ berfirman,

وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالَّذِينَ هُمْ بِآيَاتِنَا يُؤْمِنُونَ

“dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami”.” (QS. Al-A’raf: 156)([10])

Ayat ini menunjukkan bahwa ada rahmat khusus. Jika seseorang ingin meraih rahmat Allah ﷻ yang khusus maka dia bisa meraihnya dengan ketakwaan. Ini sangat banyak di dalam Al-Quran, Allah ﷻ berfirman,

وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Dan Al-Quran itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kalian diberi rahmat. (QS. Al-An’am: 155)

Allah ﷻ berfirman,

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (QS. An-Nur: 56)

Allah ﷻ berfirman,

إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ

“Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf: 56)

Rahmat khusus ini berlanjut hingga di akhirat. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan rahmat ini sampai kepada Ahli tauhid pelaku maksiat yang masuk neraka. Dalam satu hadits disebutkan ketika pelaku maksiat masuk ke dalam neraka Jahanam maka masing-masing malaikat dan manusia memberi syafaat kepada mereka,

شَفَعَتِ الْمَلَائِكَةُ، وَشَفَعَ النَّبِيُّونَ، وَشَفَعَ الْمُؤْمِنُونَ، وَلَمْ يَبْقَ إِلَّا أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ، فَيَقْبِضُ قَبْضَةً مِنَ النَّارِ، فَيُخْرِجُ مِنْهَا قَوْمًا لَمْ يَعْمَلُوا خَيْرًا قَطُّ قَدْ عَادُوا حُمَمًا،

‘Para Malaikat, Nabi, dan orang-orang yang beriman telah memberi syafaat. Sekarang yang belum memberikan syafaat adalah Dzat Yang Maha Pengasih’. Kemudian Allah menggenggam satu genggaman dari dalam neraka. Dari dalam tersebut Allah mengeluarkan suatu kaum yang sama sekali tidak pernah melakukan kebaikan, dan mereka pun sudah berbentuk seperti arang hitam. ([11])

Bayangkan! Orang yang telah masuk ke dalam neraka jahanam masih mendapatkan rahmat Allah ﷻ maka bagaimana lagi dengan orang yang masuk ke dalam surga Allah ﷻ?

Ini adalah sifat rahmat Allah ﷻ, maka barang siapa yang ingin meraih rahmat khusus Allah ﷻ maka hendaknya ia bertakwa kepada Allah ﷻ. Juga jika ingin mendapatkan rahmat Allah ﷻ maka rahmatilah makhluk, Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

«الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ»

“Orang-orang yang mengasihi akan dikasihi oleh Ar-Rahman, berkasih sayanglah kepada siapa pun yang ada dibumi, niscaya Yang ada di langit akan mengasihi kalian.” ([12])

Jika kita ingin disayangi oleh Allah ﷻ maka sayangilah makhluk, sayangilah orang-orang yang miskin, orang-orang yang susah, bantulah orang-orang yang menderita, sayangilah istri, suami, anak-anak, dan hewan-hewan. Bahkan Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

وَالشَّاةُ إِنْ رَحِمْتَهَا، رَحِمَكَ اللهُ “

“dan kambing (yang akan engkau sembelih), jika engkau menyayanginya maka Allah akan menyayangimu.” ([13])

Di antara yang perlu kita perhatikan juga adalah kasih sayang sesama penuntut ilmu dan para dai. Sampai-sampai disebutkan dalam istilah perkataan para ulama,

العِلْم رَحِمٌ بَيْنَ أهْلِهِ

“ilmu memiliki rahim (kekerabatan) antara sesama penuntut ilmu.” ([14])

Maka hendaknya sesama penuntut ilmu saling menyayangi, saling memberi uzur, jangan saling mencela dan mencari kesalahan. Adapun saling hasad sesama penuntut ilmu maka ini tidak benar. Hendaknya jika ada penuntut ilmu yang berhasil dalam berdakwah dan lainnya kita ikut senang dan kita dukung.

Kita juga harus hati-hati, karena jika ada seorang yang berbuat dosa yang menghilangkan rahmat Allah ﷻ maka dia sangat mudah diazab oleh Allah ﷻ. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللَّهُ لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا، مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِي الْآخِرَةِ، مِنَ الْبَغْيِ، وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ

“Tidaklah ada perbuatan dosa yang akan disegerakan siksanya bagi pelakunya oleh Allah di dunia dan disisakan baginya di Akhirat selain (melebihi dosa) kezaliman dan memutuskan silaturahmi.” ([15])

Ini dikarenakan berbuat zalim dan memutus silaturahmi bertentangan dengan kasih sayang. Seharusnya seseorang menyayangi yang lainnya akan tetapi dia malah menzaliminya. Maka perbuatan ini sangat mudah untuk diazab oleh Allah ﷻ. Sebaliknya orang yang menyambung silaturahmi dia akan dipanjangkan umurnya dan dimudahkan rezekinya.

Semoga Allah ﷻ menjadikan kita hamba-hamba yang penyayang sehingga kita dikasihi oleh Allah ﷻ.

_______

Footnote:

([1]) HR. Bukhari No. 5999 dan Muslim No. 2754

([2]) Al-Kasysyaaf (1/8).

([3]) Lihat: Mirqaah al-Mafaatiih Syarh Misykaah al-Mashaabiih (4/1639).

([4]) HR. Muslim No. 2752

([5]) Lihat: at-Tanbiihaat al-Mukhtasharah Syarh al-Waajibaat al-Mutahattimaat (1/13).

([6]) Lihat: Badaai’ al-Fawaaid (1/24).

([7]) Lihat: Madaarij as-Saalikiin (1/57).

([8]) Lihat: Mausuu’ah Fiqh al-Quluub 1/138

([9]) HR. Bukhari No. 6099 dan Muslim No. 2804

([10]) Lihat: Syifaa’ al-‘Aliil Fii Masaail al-Qadhaa’ wa al-Qadar wa al-Hikmah wa at-Ta’liil 1/263

([11]) HR. Muslim No. 183.

([12]) HR. Abu Dawud No. 4941.

([13]) HR. Ahmad No. 20363, dan dinyatakan oleh Syu’aib Al-Arnauth hadits ini sahih.

([14]) Lihat: Maa’alim Tarbawiyah Lithaalibii Asnaa al-Wilaayaat asy-Syar’iyyah 51.

([15]) HR. Ibnu Majah No. 4211, dan dinyatakan sahih oleh Al-Albani