Type Here to Get Search Results !

ALLAH AL-HAKIM, MAHA BIJAKSANA

   

OlehUstadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari

Sesungguhnya di antara sebab terbesar untuk menambah iman hamba adalah memahami sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla dan beribadah kepadaNya dengan kandungan sifat-sifat itu. Dan di antara sifat-sifat kesempurnaan Allâh Azza wa Jalla adalah sifat hikmah. Ulama Ahlus Sunnah sepakat menetapkan sifat hikmah bagi Allâh Azza wa Jalla , namun sebagian orang yang menyimpang menolaknya dengan akal atau perasaannya yang menyimpang.

Dalil Al-Qur’an

Allâh Azza wa Jalla memiliki asmaul husna (nama-nama yang paling indah), di antara asmaul husna Allâh adalah Al-Hakîm. Allâh Azza wa Jalla memberitakan nama-Nya Al-Hakîm di dalam al-Qur’an sebanyak 91 kali. Semuanya dirangkaikan dengan nama-Nya yang lain.

Allâh Azza wa Jalla memberitakan doa Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il, ketika keduanya membangun Ka’bah, dengan firman-Nya:

رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْهُمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيْهِمْ ۗ اِنَّكَ اَنْتَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ

Ya Rabb kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Al-‘Azîz (Yang Maha Kuasa) lagi Al-Hakîm (Maha Bijaksana).  [Al-Baqarah/2:129]

Di dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla merangkaikan nama al-Hakîm (Maha Bijaksana) dengan al-‘Azîz (Yang Maha Kuasa). Allâh Azza wa Jalla merangkaikan kedua nama ini dalam 50 tempat di dalam al-Qur’an.

Di dalam ayat-ayat lain Allâh Azza wa Jalla merangkaikan nama al-Hakîm (Maha Bijaksana) dengan al-‘Alîm (Yang Maha Mengetahui). Allâh Azza wa Jalla merangkaikan kedua nama ini di dalam 26 tempat di dalam al-Qur’an. Di antaranya adalah firman Allâh Azza wa Jalla:

وَعَلَّمَ اٰدَمَ الْاَسْمَاۤءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلٰۤىِٕكَةِ فَقَالَ اَنْۢبِـُٔوْنِيْ بِاَسْمَاۤءِ هٰٓؤُلَاۤءِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ– قَالُوْا سُبْحٰنَكَ لَا عِلْمَ لَنَآ اِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۗاِنَّكَ اَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ 

Dan Dia (Allah) mengajarkan kepada Adam  nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar!”

Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah al-‘Alîm (Yang Maha Mengetahui) lagi al-Hakîm (Maha Bijaksana).” [Al-Baqarah/2:31-32]

Dalil As-Sunnah

Adapun hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan nama Allâh al-Hakîm antara lain sebagai berikut:

عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: عَلِّمْنِي كَلَامًا أَقُولُهُ، قَالَ: ” قُلْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا، سُبْحَانَ اللهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ ”

Dari Mush’ab bin Sa’ad, dari bapaknya (Sa’ad bin Abi Waqqash), dia berkata: Seorang Arab Badui datang kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Ajarilah aku perkataan (dzikir) yang aku akan mengucapkannya!”.  Beliau bersabda, “Katakanlah: Laa ilaaha illallâh…(Tidak ada yang berhak diibadahi selain Allâh semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Allâh Maha Besar sebesar-besarnya, segala puji yang banyak hanya milik Allâh, Maha Suci Allâh Rabb (Penguasa) seluruh makhluk. Tidak ada daya (untuk melakukan ketaatan) dan tidak ada kekuatan (untuk meninggalkan kemaksiatan) kecuali dengan (bantuan) Allâh al-‘Azîz (Yang Maha Kuasa) lagi al-Hakîm (Maha Bijaksana)”. [HR. Muslim, no. 33/2696]

Di dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu disebutkan:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْعُو عِنْدَ الكَرْبِ: “لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الحَلِيمُ الحَكِيمُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ رَبُّ العَرْشِ العَظِيمُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ رَبُّ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ وَرَبُّ العَرْشِ الكَرِيمُ”

Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdoa di saat kesusahan, “Laa ilaaha illallâh…(Tidak ada yang berhak diibadahi selain Allâh, al-Halîm (Yang Maha Sabar) al-Hakîm (Yang Maha Bijaksana). Tidak ada yang berhak diibadahi selain Allâh, Rabb (Penguasa) semua langit dan bumi, dan Rabb singgasana yang agung”. [HR. Tirmidzi, no. 3435. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani]

Kedua hadits di atas menyebut Al-Hakîm yang merupakan salah satu dari asmaul husna Allâh.

Dalil Akal

Demikian pula akal dan realita menetapkan bahwa Allâh Azza wa Jalla bersifat hikmah. Syaikhul Islam rahimahullah (wafat th 728 H) berkata:

وَالْغَايَاتُ الْمَحْمُودَةُ فِي مَفْعُولَاتِهِ وَمَأْمُورَاتِهِ – وَهِيَ مَا تَنْتَهِي إلَيْهِ مَفْعُولَاتُهُ وَمَأْمُورَاتُهُ مِنْ الْعَوَاقِبِ الْحَمِيدَةِ – تَدُلُّ عَلَى حِكْمَتِهِ الْبَالِغَةِ؛

“Tujuan-tujuan yang terpuji pada semua perbuatan dan perintah Allah, yaitu akibat-akibat terpuji yang berakhir dari semua perbuatan dan perintah Allah, menunjukkan hikmahNya yang sempurna”. [Majmu’ al-Fatawa, 3/19]

Makna Nama Allâh al-Hakîm
Banyak sekali penjelasan para Ulama tentang makna al-Hakîm yang merupakan nama Allâh Azza wa Jalla.
Baca Juga  Al-Ghaniyyu, Allah Maha Kaya

Imam Ibnu Jarir ath-Thabariy rahimahullah (wafat th 310 H) berkata, “Al-Hakîm adalah Yang pengaturan-Nya tidak ada cacat dan kesalahan”.[1]

Imam Ibnu Katsir ad-Dimasyqiy rahimahullah (wafat th. 774 H) berkata, “Al-Hakîm di dalam semua perbuatan-Nya dan perkataan-Nya, meletakkan segala sesuatu di tempatnya, karena  ilmu-Nya, hikmah-Nya, dan keadilan-Nya”.[2]

Imam Ibnul Atsir rahimahullah (wafat th. 606 H) berkata, “Di antara nama-nama Allâh adalah al-Hakam dan al-Hakîm, keduanya berarti hakim, yaitu qadhi. Atau al-Hakîm bermakna Muhkim, yaitu yang melakukan atau membuat sesuatu dengan sempurna. Ada yang mengatakan: al-Hakîm bermakna Dzul hikmah (yang memiliki hikmah). Sedangkan hikmah adalah ungkapan tentang mengetahui sesuatu yang paling utama dengan ilmu yang paling utama. Dan orang yang mengetahui perincian-perincian barang buatan dan mampu membuatnya dengan sempurna disebut: hakîm”.[3]

Dengan memperhatikan asal kata dan penjelasan para ulama ahli bahasa Arab, bahwa nama Allâh Al-Hakîm memiliki tiga makna pokok:
  1.     Hakîm dengan makna hâkim, artinya Yang memutuskan hukum.
  2.     Hakîm dengan makna muhkim, artinya Yang membuat sesuatu dengan sempurna.
  3.     Hakîm dengan makna dzul hikmah, artinya Yang memiliki sifat hikmah.
Penjelasan Mengenai Hikmah Allâh Azza wa Jalla

Hikmah Allâh terdapat di dalam ciptaan-Nya dan syari’at-Nya. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat 751 H) menjelaskan masalah ini di dalam sya’irnya, Nûniyyah:

والحكمة العليا على نوعين أيـ … ـضا حصلا بقواطع البرهان
إحداهما في خلقه سبحانه … نوعان أيضا ليس يفترقان
أحكام هذا الخلق إذ إيجاده … في غاية الإحكام والإتقان
وصدوره من أجل غايات له … وله عليها حمد كل لسان
والحكمة الأخرى فحكمة شرعه … أيضا وفيها ذانك الوصفان
غاياتها اللائي حمدن وكونها … في غاية الإتقان والإحسان

Hikmah Allâh yang paling tinggi terdapat di dalam dua jenis juga
Keduanya diketahui dengan bukti-bukti pasti yang nyata
Pertama: terdapat di dalam ciptaan-Nya
Ada dua jenis sifat yang keduanya tidak terpisahkan (pada ciptaan-Nya)
Kesempurnaan ciptaan-Nya, karena Dia menciptakannya di dalam puncak kesempurnaan
Dan terjadi ciptaan itu dari sebab tujuan-tujuannya…
Dan Allâh berhak dipuji oleh seluruh lidah pada tujuan-tujuan penciptaan
(Kedua) Hikmah yang lain, yaitu hikmah pada syari’at-Nya, padanya terdapat dua sifat itu juga Tujuan-tujuan syari’at yang dipuji, dan keadaannya yang berada di puncak kesempurnaan
(Al-Kâfiyah Asy-Syâfiyah, hlm. 206)

Di dalam sya’ir agung ini, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa hikmah Allâh terdapat di dalam ciptaan-Nya dan syari’at-Nya.

Di dalam ciptaan-Nya, yaitu makhluk-Nya dan takdir-Nya, ada dua sifat yang menunjukkan hikmah-Nya:
  1.     Keadaan ciptaan Allâh yang berada di puncak kesempurnaan. Kalau kita memperhatikan keadaan langit, bumi, daratan, lautan, hewan, tumbuhan, dan lainnya, kita akan mengetahui kesempurnaan ciptaan Allâh Azza wa Jalla.
  2.     Tujuan-tujuan keberadaan makhluk Allâh. Kalau kita memperhatikan manfaat-manfaat dari makhluk Allâh, baik manfaat tanah, air, udara, hewan, tumbuhan, kita akan mengetahui sebagian hikmah dari ciptaan Allâh Azza wa Jalla . Bahkan berbagai kejadian, baik menyenangkan atau menyusahkan di sana terdapat hikmah dan tujuan, baik kita memahami atau tidak memahami.
Di dalam syari’at-Nya, yaitu agama-Nya dan peraturan-Nya, ada dua sifat yang menunjukkan hikmah-Nya:
  1.     Keadaan syari’at Allâh yang berada di puncak kesempurnaan. Kalau kita memahami ajaran-ajaran Islam di dalam aqidah, ibadah, mu’amalah, dan lainnya, kita akan mengetahui kesempurnaan syari’at Allâh Azza wa Jalla.
  2.     Tujuan-tujuan syari’at Allâh, baik di dalam perintah, larangan, atau keyakinan. Kalau kita memperhatikan syari’at Allâh, maka kita yakin semuanya memiliki manfaat-manfaat yang agung, karena syari’at ini datang dari Allâh al-Hakîm, yang Maha Bijaksana. Baik kita memahami secara rinci dari hikmah syari’at atau tidak memahami.
Dampak Iman Kepada Sifat Hikmah Allâh Azza wa Jalla

Seorang hamba yang meyakini sifat hikmah Allâh Azza wa Jalla , baik di dalam takdir-Nya, atau syari’at-Nya, maka dia akan selalu husnuzhan (berbaik sangka) kepada Penciptanya. Ketika dia melihat sebagian manusia ada yang diberi rezeki melimpah, ada yang disempitkan rezekinya; ada yang ditinggikan kedudukannya, ada yang direndahkan; ada yang diberi kekuasaan, ada yang dijatuhkan dari kekuasaannya, maka dia meyakini bahwa itu pasti karena hikmah dan tujuan yang terpuji yang Allâh kehendaki. Dengan demikian seorang hamba yang meyakini hikmah Allâh Azza wa Jalla tidak akan marah kepada takdir Allâh Azza wa Jalla , bahkan dia akan menerima dan memuji Allâh Azza wa Jalla Yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji dari segala sisi.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan tentang keadaan orang Mukmin yang menakjubkan, yaitu karena semua urusannya baik baginya.

عَنْ صُهَيْبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

Dari Shuhaib, dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mengherankan urusan seorang Mukmin. Sesungguhnya semua urusan orang Mukmin itu baik, dan itu tidaklah ada kecuali bagi orang mukmin. Jika kesenangan mengenainya, dia bersyukur, maka syukur itu baik baginya. Dan  jika kesusahan mengenainya, dia bersabar, maka sabar itu baik baginya.[HR. Muslim, no: 2999]

Banyak orang ketika menderita sakit, dia berkeluh kesah, bahkan terkadang berputus asa dan berprasangka buruk kepada Allâh al-Hakîm (Yang Maha Bijaksana). Padahal sakit bagi seorang Mukmin memiliki banyak manfaat dan hikmah bagi orang yang mengetahuinya.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِذَا ابْتَلَى اللهُ الْعَبْدَ الْمُسْلِمَ بِبَلَاءٍ فِي جَسَدِهِ، قَالَ اللهُ: اكْتُبْ لَهُ صَالِحَ عَمَلِهِ الَّذِي كَانَ يَعْمَلُهُ، فَإِنْ شَفَاهُ غَسَلَهُ وَطَهَّرَهُ، وَإِنْ قَبَضَهُ غَفَرَ لَهُ وَرَحِمَهُ”

Dari Anas bin Malik, dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika Allâh menguji hamba-Nya yang Muslim dengan penyakit di badannya, Allâh berfirman (kepada malikat pencatat amal): “Tulis pahala baginya amal shalih yang biasa dia lakukan (ketika sehat)”. Jika Allâh menyembuhkannya, Allâh membersihkannya dan menyucikannya (dari dosa-dosa), namun jika Allâh mewafatkannya, Allâh mengampuninya dan mengasihinya”. [HR. Ahmad, no. 12503; dihasankan oleh Syaikh Syu’aib al-Arnauth di dalam Takhrij Musnad Ahmad; dan Syaikh Albani di dalam Irwaul Ghalil, penjelasan hadits no. 560; penjelasan dishahihkan]

Sebagian orang suka menyalahkan musibah dan bencana, padahal keduanya terjadi dengan takdir dan hikmah Allâh Azza wa Jalla. Maka  musibah dan bencana itu pasti memiliki manfaat dan tujuan yang agung, baik kita mengetahui hikmah itu atau tidak mengetahuinya.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَقَدْ اَخَذْنٰهُمْ بِالْعَذَابِ فَمَا اسْتَكَانُوْا لِرَبِّهِمْ وَمَا يَتَضَرَّعُوْنَ

Dan sesungguhnya Kami telah pernah menimpakan azab kepada mereka (orang-orang kafir)], maka mereka tidak tunduk kepada Rabb mereka, dan (juga) tidak memohon (kepada-Nya) dengan merendahkan diri. [Al-Mukminûn/23:76]

Di dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla menyebutkan sebagian dari hikmah bencana di dunia kepada orang-orang kafir, yaitu agar mereka merendahkan diri dan berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla .

Kita lihat di berbagai tempat, kaum  Muslimin ditindas dan dihinakan oleh orang-orang kafir, bahkan sebagian mereka dibunuh dengan mengenaskan. Tentu semua mengandung hikmah dari Allâh Azza wa Jalla .

Ketika banyak kaum sahabat Nabi terluka dan meninggal dunia di dalam perang Uhud, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

اِنْ يَّمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِّثْلُهٗ ۗوَتِلْكَ الْاَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِۚ وَلِيَعْلَمَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاۤءَ ۗوَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَۙ 

Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allâh membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada’. Dan Allâh tidak menyukai orang-orang yang zalim.  [Ali Imran/3:140]

Di dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla menyebutkan sebagian dari hikmah kematian kaum Muslimin dalam perang Uhud adalah agar mereka menjadi orang-orang yang meraih syahadah (mati syahid). Kita tahu betapa kematian tertinggi adalah meraih syahadah!

Oleh karena itu terkadang musibah bisa menghantarkan seorang hamba menuju derajat tinggi di sisi Allâh Azza wa Jalla , ketika hamba tersebut terbatas amalannya. Hal ini sebagaimana disebutkan di dalam sebuah hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ الرَّجُلَ تَكُونُ لَهُ الْمَنْزِلَةُ عِنْدَ اللَّهِ فَمَا يَبْلُغُهَا بِعَمَلٍ فَلَا يَزَالُ يَبْتَلِيهِ بِمَا يَكْرَهُ حَتَّى يُبْلِغَهُ ذَلِكَ» هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الْإِسْنَادِ، وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ “

Abu Hurairah, dia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya ada seseorang yang memiliki kedudukan tinggi di sisi Allâh, tetapi dia  tidak bisa memperolehnya dengan amalannya. Maka Allâh senantiasa terus mengujinya dengan sesuatu yang tidak disukainya, hingga dia mencapai kedudukan itu.” [HR. Al-Hakim, no. 1274; dan dia menshahihkannya]

Dengan memahami hikmah Allâh Azza wa Jalla , maka seorang hamba akan mengikuti syari’at dengan sebaik-baiknya, karena dia yakin syari’at Allâh merupakan hikmah yang agung, datang dari Allâh al-Hakîm. Dan hamba tersebut juga akan bersyukur ketika mendapatkan nikmat dan bersabar ketika mendapatkan musibah, sehingga dia akan meraih kebahagiaan di dunia sebelum di akhiratnya. Maka segala puji bagi Allâh Rabb semesta alam.
_______

Footnote:

[1]Tafsir ath-Thabariy, 3/88
[2]Tafsir Ibnu Katsir, 1/318; penerbit: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah. Catatan: Di dalam Tafsir Ibnu Katsir cetakan lainnya ada sedikit perbedaan kalimat
[3] an-Nihâyah fii Gharibil Hadits wal Atsar, 1/419


AL-HAKÎM HUKUMNYA TEPAT DAN BIJAKSANA

OlehUstadz Ahmas Faiz Asifuddin

Al-Hakîm, salah satu nama Allah Azza wa Jalla yang sangat indah, namun jarang dihayati oleh kaum Muslimin. Itulah sebabnya, disamping tidak merasakan indahnya nama itu, juga banyak pelanggaran terhadap hukum Allah yang dilakukan oleh banyak kaum Muslimin, baik dalam konteks individual maupun sosial.

DALIL BAHWA AL-HAKIIM ADALAH NAMA ALLAH

Banyak dalil dari Al-Qur`ân Al-Karîm yang menunjukkan bahwa al-Hakîm merupakan salah satu nama Allah Azza wa Jalla . Di samping itu, banyak disebutkan secara bersamaan dengan nama Allah lainnya. Sebagai contoh, misalnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ                                      
Dan Allah adalah ‘Azîz (Maha Perkasa) lagi Hakîm (Maha Bijaksana). [Lihat surat Fathir/35:2, al-Hadîd/57:1, al-Hasyr/59:1& 24, al-Jumu’ah/62:3,dan lain-lain]

Juga firman Allah Azza wa Jalla:

وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ

Dan Dia-lah Allah Yang Hakîm (Maha Bijaksana) lagi Khobîr (Maha Mengetahui). [Saba`/34:1].

Berdasarkan ayat-ayat tersebut, para ulama menetapkan bahwa al-Hakîm merupakan salah satu nama Allah yang Husna (sangat indah). Di antaranya, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah (seorang ulama besar zaman ini yang telah wafat) dalam kitabnya, al-Qawa’id al-Mutsla fi Shifatillah wa Asma’ihi al-Husna.[1]

Juga Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr az-Zur’i ad-Dimasyqi (691-751 H). Dalam hal ini beliau membawakan firman Allah Azza wa Jalla :

إِنَّهُ هُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ

Sesungguhnya Dialah Allah Yang Hakîm (Maha Bijaksana) lagi ‘Alîm (Maha Mengetahui). [adz-Dzâriyât/51:30].[2]

MAKNA AL-HAKÎM

Syaikh Dr. Shâlih bin Fauzân al-Fauzân (salah seorang ulama besar zaman ini yang menjadi anggota dewan ulama besar dan anggota dewan tetap untuk fatwa di Saudi Arabia) menjelaskan, al-Hakîm mempunyai dua makna.
  • Pertama, Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Hakîm (pembuat dan penentu hukum) bagi seluruh makhluk-Nya. Dan hukum Allah ada dua. Yaitu, hukum yang bersifat kauni (yakni, ketetapan taqdir) dan hukum yang bersifat syar’i (yakni, ketetapan syariat).
  • Kedua, Allah Maha bijaksana, tepat, bagus dan meyakinkan dalam menetapkan semua hukumnya, baik hukum yang brsifat kauni maupun hukum yang bersifat syar’i. Makna kedua ini diambil dari kata hikmah, yang artinya meletakkan sesuatu tepat pada tempatnya.
Jadi, Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Hakîm, yang membuat dan menetapkan hukum kauni (taqdir) dan syar’i (syariat) bagi seluruh makhluk-Nya. Dan semua hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala ; semua ketetapan taqdir serta semua ketetapan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala , adalah ketetapan yang bijaksana, tepat dan bagus. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menciptakan apapun untuk tujuan yang sia-sia, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menetapkan hukum syariat apapun kecuali sesuatu yang pasti maslahat, bahkan syariat Allah Azza wa Jalla adalah kemaslahatan itu sendiri.[3]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, al-Hakîm (Maha Bijaksana) maksudnya, (bijaksana) dalam semua perkataan, perbuatan,syariat maupun taqdir-Nya.[4]

Syaikh ‘Abdur-Rahmân bin Nashir as-Sa’di rahimahullah (wafat 1376 H) ketika menjelaskan makna al-Hakîm pada surat al-Baqarah/2 ayat 32 mengatakan: “Al-Hakîm, artinya Dzat Yang Maha memiliki hikmah sempurna. Tidak ada satu makhlukpun yang keluar dari lingkaran hikmah Allah, dan tidak ada satu perintahpun yang keluar dari lingkup hikmah-Nya. Allah tidak pernah menciptakan sesuatupun kecuali untuk suatu hikmah, dan tidak pernah memerintahkan sesuatupun kecuali untuk suatu hikmah. Hikmah ialah meletakkan sesuatu pada tempatnya yang pas”.[5]
Baca Juga  Al-Ghaniy, Maha Kaya

Dari uraian makna di atas, berarti nama al-Hakîm mengandung dua sifat, yaitu Allah bersifat Maha menetapkan hukum, dan bersifat Maha bijaksana dalam hukum-Nya.

Hukum Allah ada dua. Yaitu hukum kauni (ketetapan taqdir) dan hukum syar’i (ketetapan syariat). Maka setiap ketetapan taqdir Allah pasti bijaksana, tepat dan adil. Misalnya, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mentaqdirkan seseorang beriman, berarti itulah yang paling tepat dan bijaksana. Demikian pula ketika, misalnya, Allah mentaqdirkan seseorang mati dalam keadaan kafir, maka itu pulalah yang paling adil, bijaksana dan tepat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang harus Dia lakukan. Dia Maha Mengetahui segala-galanya, baik berkaitan dengan perbuatan-perbuatan diri-Nya maupun berkaitan dengan perbuatan-perbuatan para hamba-Nya.

Begitu pula, semua ketetapan syariat Allah, adalah syariat yang bijaksana, bagus dan tepat dipakai oleh siapapun, kapanpun dan di manapun. Syariat Allah tidak mengandung cacat sedikitpun, baik syariat yang berkaitan dengan pribadi, rumah tangga, sosial, politik, ekonomi dan lain-lainnya. Baik yang berkaitan dengan aqidah, ibadah maupun mu’amalah.

Apabila nama al-Hakîm digabungkan penyebutannya dengan nama Allah Subhanahu wa Ta’alaainnya, maka akan memiliki kesempurnaan ganda. Misalnya apa yang disebutkan oleh Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr az-Zur’i ad-Dimasyqi rahimahullah. Beliau mengatakan:

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّهُ هُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ

Sesungguhnya Dialah Allah Yang Hakîm (Maha Bijaksana) lagi ‘Alîm (Maha Mengetahui). [adz-Dzâriyât/51:30].

(Ayat ini) mengandung penetapan sifat hikmah dan ilmu bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala , yang merupakan asas bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menciptakan dan memerintahkan. Artinya, apa saja yang Allah Subhanahu wa Ta’ala  ciptakan, semuanya terlahir dari ilmu dan hikmah-Nya. Begitu pula perintah serta syariat-Nya pun terlahir dari ilmu dan hikmah-Nya. Ilmu dan hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala mengandung semua sifat sempurna bagi Allah.

    Karena ilmu Allah mengandung kesempurnaan sifat hidup bagi Allah dengan segala konsekuensinya seperti, sifat Maha Tegak (Qayyumiyyah), sifat Maha Kuasa (Qudrah), sifat kekal, sifat mendengar, melihat dan semua sifat lain yang menjadi konsekuensi dari ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sempurna.
    Sedangkan sifat hikmah-Nya, mengandung kesempurnaan sifat iradah (kehendak), sifat adil, sifat kasih sayang, sifat berbuat ihsan, sifat pemurah, sifat berbuat kebajikan dan sifat selalu meletakkan segala sesuatu tepat pada tempatnya yang terbaik. Mencakup pula hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam mengutus semua rasul-Nya dan dalam menetapkan pahala serta siksa.[6]

Jadi, dengan penggabungan dua nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang umumnya terdapat pada penutup ayat, menunjukkan berlipatgandanya kesempurnaan Allah Azza wa Jalla . Padahal bila masing-masing nama Allah Subhanahu wa Ta’ala disebutkan secara sendiri-sendiri, maka sudah menunjukkan kesempurnaan secara khusus.

Ketika menyebutkan contoh penggabungan dua nama Allah Subhanahu wa Ta’ala , yaitu:

الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ                                            

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan:

Sesungguhnya banyak di dalam Al-Qur`ân, Allah Subhanahu wa Ta’ala menggabungkan nama al-‘Azîz dan al-Hakîm. Maka masing-masing dari dua nama itu menunjukkan kesempurnaan khusus sesuai dengan tuntutan masing-masingnya, yaitu kesempurnaan sifat perkasa (‘izzah) pada nama al-‘Azîz, dan kesempurnaan hukum serta hikmah pada nama al-Hakîm. Penggabungan antara keduanya menunjukkan kesempurnaan lain, yaitu bahwa kesempurnaan sifat perkasa-Nya disertai dengan kesempurnaan sifat hikmah-Nya.

Dengan demikian, sifat perkasa (izzah) Allah Azza wa Jalla tidak menuntut adanya kezhaliman, kejahatan atau tindakan semena-mena. Tidak sebagaimana banyak dilakukan oleh para manusia yang menjadi raja perkasa. Biasanya keperkasaan seorang raja akan mendorongnya berbuat dosa; ia berbuat zhalim, jahat dan semena-mena.

Begitu pula hukum dan hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu disertai dengan kesempurnaan sifat perkasa-Nya. Berbeda dengan hukum serta hikmah (kebijaksanaan) manusia, akan senantiasa diwarnai kehinaan.[7]

Artinya, hukum dan kebijaksanaan (hikmah) manusia, bukan disebabkan oleh murni kekuatan dan keperkasaannya, namun senantiasa diwarnai oleh kelemahan dirinya. Misalnya karena tekanan, takut, atau membutuhkan pihak lain, maka suka atau tidak, ia harus menetapkan keputusan hukum atau harus bijaksana dalam menetapkan keputusan hukumnya. Sedangkan Allah tidak demikian. Hukum dan hikmah Allah murni karena kesempurnaan sifat perkasa (izzah)Nya. Begitu pula sifat perkasa Allah Azza wa Jalla , tidak pernah lepas dari sifat kuasa-Nya untuk menetapkan hukum dan untuk bersifat hikmah dalam menetapkan hukumNya. Allahu Akbar.

Karena itu, hendaklah kaum Muslimin senantiasa ingat akan nama Allah Subhanahu wa Ta’ala ; al-Hakîm, dan senantiasa berupaya menghayati nama-nama husna Allah serta sifat-sifat sempurna-Nya, supaya dengan demikian menjadi orang-orang yang benar-benar bertakwa.

Wa Billahi at-Taufîq.
_____

Maraji`:
  1.     Al-Qawa’id al-Mutsla fî Shifatillah wa Asma’ihi al-Husnâ. Tahqîq dan Takhrîj: Asyraf bin Abdul- Maqshud bin Abdur Rahim, Maktabah as-Sunnah, Cetakan I, 1411 H/1990 M.
  2.     Asma’ullah al-Husnâ, karya Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr az-Zur’i ad-Dimasyqi. Tahqîq dan Takhrîj: Yûsuf Ali Badyawi & Aiman ‘Abdur-Razaq asy-Syawwa, Dâr al-Kalim ath-Thayyib, Dimasyq, Beirut, Cetakan II, 1419 H/1998 M.
  3.     Syarh a-Aqidah al-Wasithiyah, Syaikh Shâlih bin Fauzân al-Fauzân, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, Cetakam VI, 1413 H/1993 M.
  4.     Tafsir Ibnu Katsir, Taqdîm: ‘Abdul-Qadir al-Arna’ûth, Dâr al-Faihâ`, Dimasyq dan Dâr as-Salâm, Riyadh, Cetakan I, 1414 H/1994 M.
  5.     Taada pisîr al-Karîm ar-Rahmân fi Tafsîr Kalâm al-Mannân, Syaikh ‘Abdur-Rahmân bin Nashir as-Sa’di.
______

Footnote:
[1] Lihat hlm. 10, 19, Tahqîq dan Takhrîj: Asyraf bin Abdul Maqshud bin ‘Abdur-Rahim, Maktabah as-Sunnah, Cetakan I, 1411 H/1990 M.
[2] Lihat kitab karya Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr az-Zur’i ad-Dimasyqi yang berjudul Asma’ullah al-Husnâ. Tahqîq dan Takhrîj: Yusuf Ali Badyawi dan Aiman ‘Abdur-Razaq asy-Syawwa, Dâr al-Kalim ath-Thayyib, Dimasyq, Beirut, Cetakan II, 1419 H/1998 M, hlm. 127.
[3] Lihat Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah, Syaikh Shâlih bin Fauzân al-Fauzân, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, Cetakan VI, 1413 H/1993 M, hlm. 31, dengan terjemah dan pemaparan bebas.
[4] Lihat Tafsir Ibnu Katsir, tentang surat Saba` ayat 1 (III/693), Taqdîm: ‘Abdul-Qadir al-Arna`ûth, Dâr al-Faihâ’, Dimasyq dan Dâr as-Salâm, Riyadh, Cetakan I, 1414 H/1994 M.
[5] Lihat Taisîr al-Karîm ar-Rahmân fi Tafsîr Kalâm al-Mannân, pada tafsir surat al-Baqarah/ ayat 32.
[6] Lihat kitab karya Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr az-Zur’i ad-Dimasyqi yang berjudul: Asma’ullah al-Husnâ, hlm. 127.
[7] Lihat al-Qawa’id al-Mutsla fî Shifatillah wa Asma’ihi al-Husna, hlm. 10.